Moda transportasi langka, Papua minta subsidi biaya logistik
JAYAPURA. Masalah logistik dan distribusi barang telah lama
menjadi penghambat perdagangan di Papua. Masalah ini sangat merugikan
pelaku usaha di sana. Sebab, mereka harus mengalokasikan biaya logistik
yang tinggi. Akibatnya, mereka harus menjual barang-barangnya jauh lebih tinggi ketimbang harga barang di daerah lain.
Ahmed Bin S.M, Koordinator Pedagang Pasar Skow, Muara Tami, Papua, menuturkan para pedagang di Pasar Skow harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi ketika mengambil barang dari Jayapura. Padahal, jarak antara Jayapura-Muara Tami sebenarnya ditempuh hanya 2 jam saja. Namun, langkanya moda transportasi yang menghubungkan dua daerah itu membuat ongkos angkut membubung tinggi.
Ahmed Bin S.M, Koordinator Pedagang Pasar Skow, Muara Tami, Papua, menuturkan para pedagang di Pasar Skow harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi ketika mengambil barang dari Jayapura. Padahal, jarak antara Jayapura-Muara Tami sebenarnya ditempuh hanya 2 jam saja. Namun, langkanya moda transportasi yang menghubungkan dua daerah itu membuat ongkos angkut membubung tinggi.
Ia mencontohkan, harga beras dengan berat 25
kilogram di Jayapura sebenarnya Rp 140.000-Rp 150.000. Namun, biaya
angkut beras itu hingga ke kiosnya di Pasar Skow mencapai Rp 40.000 per
25 kg beras. Imbasnya, Ia harus menjual beras bervolume 25 kg di atas Rp
200.000. "Ongkosnya memang mahal," jelas Ahmed kepada Kontan, di Muara
Tami, Jayapura, Papua, akhir pekan lalu. Inilah yang kemudian harga
bahan pokok dan barang lainnya di Papua lebih tinggi ketimbang daerah
lainnya.
Herman A. Bleskadit, Kepala Seksi Perdagangan Luar Negeri, Dinas Perindustrian & Perdagangan Provinsi Papua, menambahkan tingginya biaya logistik itu juga tidak hanya menyebabkan harga bahan pokok mahal. Ini juga menghambat ekspor berbagai komoditas dari Papua.
Biaya ekspor kopi misalnya. Menurutnya, sebelum mengekspornya ke luar negeri, eksportir harus mengeluarkan biaya mencapai Rp 50 juta untuk mengumpulkan 100 ton biji kopi dari berbagai daerah. Maklum saja, pengiriman kopi dari satu daerah ke daerah lainnya harus ditempuh lewat jalur udara, karena geografis Papua yang bergunung-gunung.
Hal ini diperparah oleh waktu tempuh pengiriman barang. Herman bilang, sebelum dinaikkan ke dalam pesawat, biji kopi itu diangkut oleh tenaga manusia dari perkebunan yang letaknya di pegunungan. Otomatis, mereka membutuhkan waktu tempuh yang lama untuk mengangkut kopi tersebut. "Kalau sudah di pesawat cepat, tapi sebelumnya bisa memakan waktu puluhan hari," jelasnya. Imbasnya, eksportir Papua kesulitan memenuhi permintaan yang datang dari Amerika Serikat dan Eropa.
Melihat kondisi itu, Wakil Gubernur Papua, Alex Hasegem meminta pemerintah pusat agar memberikan subsidi biaya logistik kepada para pelaku usaha di Papua. Sebab, sebagian besar wilayah Papua berada di pedalaman. Sementara infrastruktur belum memadai. Walhasil, biaya logistik membubung tinggi.
Ini jelas merugikan banyak pihak. Pelaku usaha rugi karena beban operasional membengkak. Sedangkan masyarkat juga rugi karena harus membeli barang yang lebih mahal ketimbang daerah lain. Oleh karena itu, "kami meminta pemerintah pusat agar memberikan subsidi untuk mengurangi beban logistik ini," ungkapnya.
Menanggapi hal itu, Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu, mengatakan pihaknya sudah membahas rencana pemberian subsidi logistik bagi Papua. Rencananya, subsidi ini diberikan dalam bentuk penurunan biaya angkut kapal dari daerah lain ke Papua. Ini sedikit banyak akan menurunkan beban logistik pelaku usaha di Papua, sehingga harga barang di Papua bisa lebih rendah dari sekarang. Sayangnya, pemberian subsidi ini belum jelas kapan akan direalisasikan. "Kita harus bicarakan dulu dengan kementerian lain seperti Kementerian Perhubungan," jelasnya di Jayapura.
Sumber: http://industri.kontan.co.id/news/moda-transportasi-langka-papua-minta-subsidi-biaya-logistik-1
Comments