APEC dan Kinerja Logistik Nasional
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia
Pasifik (Asia-Pacific Economic Cooperation/APEC 2013 di Bali, salah
satunya menekankan betapa pentingnya aspek community of connectivity (keterhubungan
komunitas). Hal ini dimaksudkan agar semua mobilitas barang, orang,
investasi, dan inisiatif antaranggota APEC bisa berjalan tanpa hambatan. Keterhubungan
komunitas memang penting untuk memuluskan tujuan utama forum APEC,
yakni liberalisasi perdagangan dan investasi secara total pada 2010
untuk negara maju dan 2020 untuk negara berkembang. Celakanya,
liberalisasi itu datang lebih cepat dan tak terbendung di negara-negara
berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Akibatnya, negara-negara berkembang seperti Indonesia pun kedodoran. Aliran barang dan jasa lebih banyak mengalir dan membanjiri perekonomian domestik ketimbang peningkatan ekspor produk nonmigas Indonesia. Ini yang membuat daya saing produk Indonesia sempoyongan karena produktivitas yang rendah dan kinerja logistik nasional yang karut-marut di sana sini.
Survei World Economic Forum (WEF) menyebutkan, kinerja logistik nasional pada 2012 menurun ke posisi ke-59 dari posisi ke-46 pada 2011. Data tersebut menunjukkan ada yang salah dengan implementasi Perpres No 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional, yang mengatur, antara lain, strategi program, peta panduan, dan rencana aksi dalam memperbaiki kinerja logistik Indonesia.
Turunnya kinerja sektor logistik nasional dipengaruhi oleh keterbatasan infrastruktur pelabuhan, pergudangan, jalan dan lain-lain. Hal ini jelas berdampak pada tingginya biaya operasional pengiriman barang. Jika Perpres yang mengatur tentang sistem logistik nasional dijalankan secara konsisten, maka pengiriman barang dapat lebih murah dan tepat waktu.
Segera Benahi Pelabuhan Hingga sejauh ini pemerintah terlihat lamban dalam membenahi pelabuhan yang telah eksis dan tak secepatnya membangun pelabuhan baru yang sangat dibutuhkan. Dalam hal pembenahan pelabuhan yang ada, pemerintah lamban menerapkan inaportnet, yaitu sistem layanan terpadu atau tunggal, yang mengintegrasikan layanan kebutuhan administrasi perkapalan di seluruh instansi terkait di pelabuhan.
Inaportnet memungkinkan segala macam prosedur ekspor-impor bisa lebih cepat. Penerapan inaportnet di Indonesia sebenarnya diawali dengan penerapan Indonesia National Single Window (INSW) dan nantinya mengkait dengan Asean Single Window (ASW). INSW, yang diatur dalam Perpres No 10 Tahun 2008, bertujuan untuk menyederhanakan dan mempercepat izin kepabeanan dan pengeluaran barang dalam sistem informasi yang terintegrasi antareselon. Hingga kini implementasinya masih belum maksimal.
Hal paling nyata adalah pelabuhan, yang merupakan faktor penting dalam memperlancar konektivitas negeri dengan 17 ribu pulau ini. Hingga kini kondisi pelabuhan yang merupakan faktor penting untuk mendongkrak kinerja logistik nasional di negeri ini masih sangat memprihatinkan. Hal itu terlihat pada kondisi pelabuhan terbesar di Tanah Air: Tanjung Priok.
Fakta menunjukkan bahwa Pelabuhan Tanjung Priok semakin kewalahan menjalankan fungsinya karena terkendala kapasitas dan fasilitas pelabuhan yang terbatas. Kini Tanjung Priok tidak mampu bersaing dengan otoritas pelabuhan di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Vietnam. Tidak mengherankan jika sistem pelayanan dan perizinan ekspor-impor juga masih belum efektif. Kondisi yang menyedihkan itu terlihat dengan indikator, antara lain waktu pengurusan barang masih lama, lead time for container import di pelabuhan itu rata-rata enam hari, padahal Singapura hanya satu hari.
Saat ini daya tampung kawasan Pelabuhan Tanjung Priok jelas sudah tidak memadai lagi. Saat ini kawasan Pelabuhan Tanjung terdiri atas wilayah perairan (di dalam pelabuhan/breakwater) seluas 424 hektare dan wilayah daratan seluas 604 hektare. Dalam kawasan ini ada tiga jenis terminal, yaitu terminal penumpang, terminal barang konvensional (bulk dan general cargo) dan tiga terminal peti kemas.
Masalah esensial dari dermaga kontainer ini adalah harus bisa menampung kapal long vessels (300 meter) dengan mudah. Karena itu, dibutuhkan kedalaman lebih dari 14 meter lows water surface (mLWS). Selain itu, instalasi crane di sana juga harus memiliki kemampuan angkut minimal 100 kontainer per-jam per vessel. Saat ini kedalaman kolam Pelabuhan Tanjung Priok terus mengalami pendangkalan, hanya 11 sampai 12 meter mLWS dan baru dapat disandari kapal-kapal pengangkut berkapasitas di bawah 60.000 dead weight ton (DWT). Jika kondisi pelabuhan induk terbesar di negeri ini saja sudah sarat masalah, apalagi pelabuhan lainnya yang lebih kecil dan jumlahnya ratusan itu.
Posisi Industri Nasional Masalah lain yang sangat memengaruhi kinerja logistik nasional adalah belum adanya data realtime dan strategi positioning produk nasional, terutama produk industri nonmigas. Ada pertanyaan penting yang sering mengemuka, di manakah posisi industri nasional kita dalam mata rantai produksi global? Tampaknya sederhana, tapi ini masalah penting menyangkut peta kekuatan industri nasional kita. Kita perlu mengevaluasi dengan jujur, misalnya, di manakah sesungguhnya posisi industri tekstil dan alas kaki di tengah persaingan saat ini?
Apakah di bawah Tiongkok atau malah di bawah Bangladesh dan Vietnam? Lalu, ke mana industri ini akan melangkah? Evaluasi yang sama juga terkait industri kreatif sektor furnitur, atau industri rumah tangga yang padat karya. Di mana posisinya di pasar dalam negeri, dominankah atau justru terpinggirkan oleh produk impor?
Sederet pertanyaan di atas penting diajukan sebab jika diamati secara teliti alokasi sumber daya nasional kita dalam menyelesaikan masalah kesenjangan nilai ekspor dan impor ternyata justru diperankan oleh industri padat karya. Ini suatu kondisi yang paradoks. Dalam kaitan ini sangat relevan kita contohkan posisi industri otomotif dan industri elektronika Indonesia yang sekarang justru dibanjiri oleh produk impor.
Padahal, sejujurnya, sejak pertengahan 60-an, kedua industri tersebut telah berdiri dan melahirkan mata rantai pasokan dan mata rantai nilai tambah dari hulu hingga hilir di beberapa kawasan industri Indonesia Terkait positioning produk nasional, ada baiknya kita mengkaji peta yang menggambarkan aliran produk yang terjadi sejak 2008 sebagaimana digambarkan oleh Peter Dickens dalam bukunya Global Shift : Mapping The Changing Contours of the World Economy (2011).
Ada pesan tersirat dari sana, yakni pentingnya kita merancang ulang mata rantai jaringan produksi global di Indonesia, dengan berfokus pada pasar dan kematangan produk. Hal ini menjadi sangat relevan justru di tengah banyaknya perusahaan yang kini menghadapi ketidakseimbangan biaya bahan baku yang diimpor dan hasil penjualan produk yang diekspor atau diserap dalam pasar domestik.
Sutianingsih
Dosen STIE Atma Bhakti, pengurus
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
Surakarta
Akibatnya, negara-negara berkembang seperti Indonesia pun kedodoran. Aliran barang dan jasa lebih banyak mengalir dan membanjiri perekonomian domestik ketimbang peningkatan ekspor produk nonmigas Indonesia. Ini yang membuat daya saing produk Indonesia sempoyongan karena produktivitas yang rendah dan kinerja logistik nasional yang karut-marut di sana sini.
Survei World Economic Forum (WEF) menyebutkan, kinerja logistik nasional pada 2012 menurun ke posisi ke-59 dari posisi ke-46 pada 2011. Data tersebut menunjukkan ada yang salah dengan implementasi Perpres No 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional, yang mengatur, antara lain, strategi program, peta panduan, dan rencana aksi dalam memperbaiki kinerja logistik Indonesia.
Turunnya kinerja sektor logistik nasional dipengaruhi oleh keterbatasan infrastruktur pelabuhan, pergudangan, jalan dan lain-lain. Hal ini jelas berdampak pada tingginya biaya operasional pengiriman barang. Jika Perpres yang mengatur tentang sistem logistik nasional dijalankan secara konsisten, maka pengiriman barang dapat lebih murah dan tepat waktu.
Segera Benahi Pelabuhan Hingga sejauh ini pemerintah terlihat lamban dalam membenahi pelabuhan yang telah eksis dan tak secepatnya membangun pelabuhan baru yang sangat dibutuhkan. Dalam hal pembenahan pelabuhan yang ada, pemerintah lamban menerapkan inaportnet, yaitu sistem layanan terpadu atau tunggal, yang mengintegrasikan layanan kebutuhan administrasi perkapalan di seluruh instansi terkait di pelabuhan.
Inaportnet memungkinkan segala macam prosedur ekspor-impor bisa lebih cepat. Penerapan inaportnet di Indonesia sebenarnya diawali dengan penerapan Indonesia National Single Window (INSW) dan nantinya mengkait dengan Asean Single Window (ASW). INSW, yang diatur dalam Perpres No 10 Tahun 2008, bertujuan untuk menyederhanakan dan mempercepat izin kepabeanan dan pengeluaran barang dalam sistem informasi yang terintegrasi antareselon. Hingga kini implementasinya masih belum maksimal.
Hal paling nyata adalah pelabuhan, yang merupakan faktor penting dalam memperlancar konektivitas negeri dengan 17 ribu pulau ini. Hingga kini kondisi pelabuhan yang merupakan faktor penting untuk mendongkrak kinerja logistik nasional di negeri ini masih sangat memprihatinkan. Hal itu terlihat pada kondisi pelabuhan terbesar di Tanah Air: Tanjung Priok.
Fakta menunjukkan bahwa Pelabuhan Tanjung Priok semakin kewalahan menjalankan fungsinya karena terkendala kapasitas dan fasilitas pelabuhan yang terbatas. Kini Tanjung Priok tidak mampu bersaing dengan otoritas pelabuhan di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Vietnam. Tidak mengherankan jika sistem pelayanan dan perizinan ekspor-impor juga masih belum efektif. Kondisi yang menyedihkan itu terlihat dengan indikator, antara lain waktu pengurusan barang masih lama, lead time for container import di pelabuhan itu rata-rata enam hari, padahal Singapura hanya satu hari.
Saat ini daya tampung kawasan Pelabuhan Tanjung Priok jelas sudah tidak memadai lagi. Saat ini kawasan Pelabuhan Tanjung terdiri atas wilayah perairan (di dalam pelabuhan/breakwater) seluas 424 hektare dan wilayah daratan seluas 604 hektare. Dalam kawasan ini ada tiga jenis terminal, yaitu terminal penumpang, terminal barang konvensional (bulk dan general cargo) dan tiga terminal peti kemas.
Masalah esensial dari dermaga kontainer ini adalah harus bisa menampung kapal long vessels (300 meter) dengan mudah. Karena itu, dibutuhkan kedalaman lebih dari 14 meter lows water surface (mLWS). Selain itu, instalasi crane di sana juga harus memiliki kemampuan angkut minimal 100 kontainer per-jam per vessel. Saat ini kedalaman kolam Pelabuhan Tanjung Priok terus mengalami pendangkalan, hanya 11 sampai 12 meter mLWS dan baru dapat disandari kapal-kapal pengangkut berkapasitas di bawah 60.000 dead weight ton (DWT). Jika kondisi pelabuhan induk terbesar di negeri ini saja sudah sarat masalah, apalagi pelabuhan lainnya yang lebih kecil dan jumlahnya ratusan itu.
Posisi Industri Nasional Masalah lain yang sangat memengaruhi kinerja logistik nasional adalah belum adanya data realtime dan strategi positioning produk nasional, terutama produk industri nonmigas. Ada pertanyaan penting yang sering mengemuka, di manakah posisi industri nasional kita dalam mata rantai produksi global? Tampaknya sederhana, tapi ini masalah penting menyangkut peta kekuatan industri nasional kita. Kita perlu mengevaluasi dengan jujur, misalnya, di manakah sesungguhnya posisi industri tekstil dan alas kaki di tengah persaingan saat ini?
Apakah di bawah Tiongkok atau malah di bawah Bangladesh dan Vietnam? Lalu, ke mana industri ini akan melangkah? Evaluasi yang sama juga terkait industri kreatif sektor furnitur, atau industri rumah tangga yang padat karya. Di mana posisinya di pasar dalam negeri, dominankah atau justru terpinggirkan oleh produk impor?
Sederet pertanyaan di atas penting diajukan sebab jika diamati secara teliti alokasi sumber daya nasional kita dalam menyelesaikan masalah kesenjangan nilai ekspor dan impor ternyata justru diperankan oleh industri padat karya. Ini suatu kondisi yang paradoks. Dalam kaitan ini sangat relevan kita contohkan posisi industri otomotif dan industri elektronika Indonesia yang sekarang justru dibanjiri oleh produk impor.
Padahal, sejujurnya, sejak pertengahan 60-an, kedua industri tersebut telah berdiri dan melahirkan mata rantai pasokan dan mata rantai nilai tambah dari hulu hingga hilir di beberapa kawasan industri Indonesia Terkait positioning produk nasional, ada baiknya kita mengkaji peta yang menggambarkan aliran produk yang terjadi sejak 2008 sebagaimana digambarkan oleh Peter Dickens dalam bukunya Global Shift : Mapping The Changing Contours of the World Economy (2011).
Ada pesan tersirat dari sana, yakni pentingnya kita merancang ulang mata rantai jaringan produksi global di Indonesia, dengan berfokus pada pasar dan kematangan produk. Hal ini menjadi sangat relevan justru di tengah banyaknya perusahaan yang kini menghadapi ketidakseimbangan biaya bahan baku yang diimpor dan hasil penjualan produk yang diekspor atau diserap dalam pasar domestik.
Sutianingsih
Dosen STIE Atma Bhakti, pengurus
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
Surakarta
Sumber: http://www.investor.co.id/opini/apec-dan-kinerja-logistik-nasional/70185
Comments