Posts

Depapre ‘Dijepit’ Peti Kemas

Image
Di Papua, hingga saat ini hukum adat masih sangat dominan. Hak ulayat menjadi permasalahan dalam penegakan hukum agraria nasional, bahkan sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)  pun sering dianggap tidak sah, karena hak kepemilikkan adat lebih diutamakan, termasuk ketika suatu investasi ingin membangun  harus memperhatikan masalah ini. JUBI --- Masalah pembayaran tanah sebagai hak ulayat masyarakat pada lokasi pembangunan pelabuhan peti kemas di Distrik Depapre Kabupaten Jayapura masih menjadi tuntutan dari suku-suku pemilik tanah. Pembangunan pelabuhan peti kemas yang menelan dana sebesar sekitar 1 triliun lebih ini sebenarnya sudah di rencanakan pemerintah daerah sedemikian rupa, termasuk dengan pembiyaan APBD maupun APBN. Namun di sisi lain  jangan pernah melupakan hak pembayaran tanah masyarakat, yang masih terus dituntut dengan kompensasi bagi masa depan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.Tentunya tujuan pembangunan untuk

Ada ‘Konflik’ Di Dalam 1,2 Triliun Pembangunan Pelabuhan Depapre

Image
Pemerintah pusat, Provinsi, dan kabupaten patungan membangun pelabuhan peti kemas.  Jangan biarkan masyarakat terpecah. Pemerintah harus bijaksana. JUBI --- Rencana  pembangunan  Pelabuhan Peti Kemas di Depapre Kabupaten  Jayapura, mulai dilakukan sejak  tahun 2004 silam. Rencana pembangunan pelabuhan ini akan menggunakan dana yang bersumber dari  APBD Provinsi Papua dan APBD Kabupaten Jayapura, juga dari APBN. Pembangunan Pelabuhan Peti Kemas dengan persentase 30 persen lokasi darat dan sisahnya adalah lokasi pasang surut. Menurut Simbolon pembagunan Pelabuhan Peti Kemas di Depare ‘dikeroyok’ anatar pihak Propinsi Papua, Kabupaten Jayapura maupun dari pemerintah pusat. ”Diperkirakan akan menelan dana senilai Rp. 1,2 triliun hingga selesai,” katanya. 

Cetak biru sistem logistik nasional segera terbit

Image
JAKARTA: Pemerintah segera menerbitkan cetak biru logistik nasional paling lambat pada Januari 2010, menyusul hampir rampungnya pembahasan oleh sejumlah instansi terkait. Deputi Menko Perekonomian Bidang Perdagangan dan Perindustrian Eddy Putra Irawadi mengatakan instansinya telah membahas cetak biru logistik dengan semua pemangku kepentingan secara institusional. "Paling lambat Januari 2010 sudah bisa terbit. Cetak biru logistik mempunyai visi locally integrated-globally connected, guna mendorong daya saing ekonomi dan terciptanya penyedia jasa logistik nasional yang tangguh," katanya kepada Bisnis. Dia menambahkan saat ini sejumlah peraturan terkait dengan kegiatan logistik terdapat di sejumlah instansi. Karena itu, cetak biru dibutuhkan untuk menyatukan strategi dan program untuk membenahi sistem logistik menjadi lebih efisien. "Peraturan yang menyangkut logistik itu banyak dan bertebaran, mulai dari undang-undang sampai dengan surat keputusan menteri, misalnya

Cetak Biru Sistem Logistik Nasional Rampung Oktober 2009

Image
Jakarta - Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu memastikan cetak biru sistem logistik nasional akan rampung sebelum pemerintahan sekarang ini berakhir.   Cetak biru sistem logistik nasional ini diharapkan bisa menjadi acuan pengelolaan sistem distribusi barang dan jasa di dalam negeri agar lebih efisien, efektif yang berdampak pada daya saing ekspor Indonesia di pasar internasional. "Blue print-nya sedang dikerjakan, mudahan- mudahan bisa selesai sebelum Oktober (masa pemerintahan berakhir)," kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu disela-sela acara peresmian fasilitas cranes baru di JICT Tanjung Priok, Rabu (27/5/2009). Menurut Mari, cetak biru sistem logistik nasional sudah lama dibahas, namun akhirnya sekarang ini sudah mendekati tahap finalisasi akhir. Cetak biru ini lanjut Mari merupakan upaya pembenahan dari sisi regulasi selain dari sisi infrastruktur sistem logistik yang selama ini dinilai tidak efisien dan efektif sehingga mempengaruhi daya saing barang te

Industri Logistik Jangan Bergantung ke Perusahaan Asing

Image
Jakarta - Industri logistik di Indonesia saat ini masih dikuasai perusahaan asing. Untuk meningkatkan daya saing pemain lokal, maka pemain asing dan lokal harus diseimbangkan.  Hal tersebut disampaikan Menko Perekonomian Boediono di Gedung Depkeu, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (25/4/2008). "Memang kebanyakan asing, ada pilihan keseimbangan untuk kecepatan mengirim dan memasukkan barang, ini penting bagi eksportir jangan sampai seluruhnya kita bergantung pada asing terus, harus ada keseimbangan antara efisiensi dan pengendali," ujarnya.  Kalangan usaha melihat belum tersentuhnya industri ini dengan aturan yang jelas membuat pemain lokal tidak kompetitif dengan perusahaan asing. Kamar Dagang Industri pun meminta pemerintah dan DPR membuat UU khusus mengenai logistik.
Jakarta - Industri logistik di Indonesia saat ini masih dikuasai perusahaan asing. Untuk meningkatkan daya saing pemain lokal, maka pemain asing dan lokal harus diseimbangkan. Hal tersebut disampaikan Menko Perekonomian Boediono di Gedung Depkeu, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (25/4/2008). "Memang kebanyakan asing, ada pilihan keseimbangan untuk kecepatan mengirim dan memasukkan barang, ini penting bagi eksportir jangan sampai seluruhnya kita bergantung pada asing terus, harus ada keseimbangan antara efisiensi dan pengendali," ujarnya. Kalangan usaha melihat belum tersentuhnya industri ini dengan aturan yang jelas membuat pemain lokal tidak kompetitif dengan perusahaan asing. Kamar Dagang Industri pun meminta pemerintah dan DPR membuat UU khusus mengenai logistik. "Maksudnya kita tidak kompetitif jika dibandingkan dengan negara lain, karena tidak ditata dengan baik, itu kan menyangkut distribusi. Dan kita kan negara kepulauan, kalau tidak diatur dengan baik

Studi Kasus : Rencana Pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Depapre Kabupaten Jayapura Provinsi Papua

Image
Kajian Sistem Penguasan dan Pemilikan Lahan Hutan Adat Oleh Tim Forest Land Tenure Jayapura - PT.PPMA dan CIFOR   JUBI – Ide tentang Pengelolaan hutan lestari (SFM) di Indonesia hingga kini belum dapat direalisasikan. Belum ada bukti bahwa kelestarian dapat tercapai dimanapun level kelestarian itu ditempatkan, baik pada tingkat unit management, unit kabupaten, unit propinsi, unit pulau bahkan Negara. Meskipun sudah ada instrument penentuan kuantitatif panen lestari pertahunnya (AAC). Tetapi prakteknya dilapangan tidak berjalan dan tidak terkontrol. Kegagalan ini bukan semata-mata karena ketidakmampuan teknis kehutanan, tetapi karena variable system social dinegasikan eksistensinya.  Di Papua terjadi berbagai penolakan dan pemalangan kegiatan kehutanan. Akibatnya adalah; dari 29 HPH yang terdapat di Papua Barat hanya 13 yang beroperasi dan dari 35 HPH yang ada di Prov Papua hanya 12 yang beroperasi (Dinas Kehutanan 2007). Bahkan termasuk sejumlah pembangunan fisik dan asset Pemd